Negara-negara yang muncul sebagai negara-negara baru
yang dapat di telusuri secara lebih meyakinkan ada tiga negara yaitu: Aceh,
Jawa, dan Sulawesi Selatan.
Aceh terlibat secara mendalam dengan semenanjung
Malaya, karena disekitar semenanjung Malaya ada tiga negara yang saling
berkonfrontasi diwilayah nusantara bagian barat pada awal abad XVI : Aceh,
Malaka Portugis, dan Johor.
Penguasa Malaka, sultan Mahmud melarikan diri
setelah dikalahkan oleh orang Portugis, akhirnya dia bisa kembali menegakkan
keturunan wangsa Malaka di Johor pada tahun 1518. Terhitung ada beberapa kali
penyerangan yang dilakukan Portugis terhadap Johor ada 9 kali penyerangan yang
dilakukan portugis. Johor sendiripun juga berusaha menghancurkan
pelabuhan-pelabuhan baru milik orang eropa ini secara terus menerus dan ini
juga bersamaan dengan Aceh dan Jepara (di Jawa utara).
Diantara peperangan yang terjadi di semenanjung
Malaya, pada tahun 1536 merupakan
hal yang paling penting yaitu disaat portugis menyerang Johor yaitu pada masa
pemerintahannya Sultan Alauddin Riayat
Syah I dipeperangan ini Johor mrngalami kekalahan dan kehilangan banyak
prajurit sehingga memaksa Johor untuk berdamai dengan Portugis, sehingga
terjadilah persekutuan yang terpaksa antara Johor dan Portugis yang memiliki
target Aceh sebagai musuh besar mereka. Seluruh kapal-kapal milik orang asia
dipaksa untuk bersandar di johor sehingga ini melemahkan penghasilan malaka.
Pada akhirnya nanti dengan kedatangan VOC akan membuat kerjasama baru antara
johor dan VOC yang akan melawan Portugis, yang akhirnya VOC akan berhasil
menaklukan Malaka pada tahun 1641.
Di seberang selat Malaka terdapat kerajaan yang
sedang tumbuh menjadi negara yang kuat di masa kedatangan orang Portugis yaitu
kerajan Aceh, sebelum kira-kira
tahun 1500 Aceh belumlah menonjol sebagai negara yang kuat. Sultan pertama Aceh
yaitu Ali Mughayat Syah(?
1514-1530). Karena berkecamuknya perang di semenanjung Malaya meka dari itu
banyak pedagang-pedagang Asia yang memilih untuk bersandar ke Aceh. Pada tahun 1520 sultan Ali mulai melakukan
penyerangan-penyerangan terhadap bebrapa daerah yaitu Daya yang terletak di
pantai barat Sumatra bagian utara, serta pantai timur yang menjadi penghasil
lada dan emas,Deli,pedir dan Pasai pada tahun 1524. Dengan ekspansi Aceh tersebut mamancing permusuahan yang
terlihat yaitu antara Aceh, Johor, dan Portugis yang berusaha mndapatkan
pengaruh yang mutlak atas daerah perdagangan di barat nusantara tersebut, akan
tetapi belum ada yang mampu bercokol secara mutlak atas jalur dagang tersebut.
Sultan ke dua Aceh yaitu salahuddin (1530±37/39) ia adalah anak tertua darai sultan Ali
Mughayat Syah. Akan tetepi ia dianggap seorang penguasa yang lebih lemah. Pada
masa pemerintahannya ia pernah melakukan penyerangan terhadap malaka pada tahun 1537 akan tetapi mengalami kegagalan
dan diamsa yang sam ia juga terjungkir oleh kudeta yang dilakukan oleh
saudaranya, yaitu Alauddin Riayat Syah
al-Kahar.
Sultan ke tiga yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar(1537/9-71) merupakan salah
satu prajurit besar di Aceh. Semasa pemimpinannya ia melakukan beberapa kali
penyerangan terhadap daerah-daerah sekitarnya. Tahun 1539 ia menyerang rakyat Batak di selatan Aceh karena tidak mau
masuk Islam. Kemudian ia menyerang Aru tetapi berhasil dipukul mundur oleh
Johor, kemudian tahun 1547 ia sendri
memimpin penyerangan ke malaka tetapi mengalami kegagalan, pada tahun 1564/1565 dia merampok Johor, membawa
serta Sultan Alauddin Riayat Syah I ke Aceh dan membunuhnya serta mengambil
alih atas kekuasaan Aru, 1568 ia
menyerang malaka lagi tetapi juga masih gagal.
Selama bagian akhir abad XVI aceh tetap merupakan
kekuatan militer yang sangat penting artinya dikawasan Selat Malaka. Akan
tetapi negeri ini juga sering dihambat oleh pertikaian dalam negerinya sendiri.
Seperti halnya di semua kerajaan di Indonesia lainnya, maka berhasilnya
penyelenggaraan kekuasaan militer di Aceh tergantung pada seorang penguasa yang
kuat, yang dapat mempertahankan tetap berlakunya consensus di kalangan kaum
elite; apabila penguasa seperti itu tidak ada, maka akan segera timbul banyak
konflik di dalam negerinya.
Agama tidak dapat menjelaskan adanya peperangan yang
timbul di selat malaka yang sebab-musabab sebenarnya dapat dicari pada
perselisihan yang terjadi diantara ketiga negara besar itu dalam rangka
mencapai hegemoni perdagangan dan kekuasaan di kawasan tersebut.
Pada awal abad XVII Aceh mendapatkan penguasa yang
sangat hebat diantara semuanya yaitu Sultan
Iskandar Muda(1607-1636) ia membantuk aceh menjadi kekuatan militer terkuat
di wilayah barat nusantara, hal initerlihat dari kekuatan muliternya yang ia
bangun yaitu angkatan laut yang memeiliki kapal-kapal besar yang mampu
mengangkut 600-800 orang prajurit, pasukan kavaleri yang diantaranya
menggunakan kuda-kuda Persia, satuan pasukan gajah, artileri yang banyak, dan
pasukan-pasukan milisi infantri. Sultan Iskandar Muda termasuk agresif untuk
melakukan penyerangan dan penaklukan di wilayah-wilayah sekitarnya diantaranya
: tahun 1612 behasil merebut Deli, tahun 1613 berhasil menduduki Aru serta
menyerang dan mengalahkan Johor walaupun penguasaan atas johor sangat singkat
di tahun yang sama Johor berhasil memukul mundur pasukan Aceh, kemudian Johor
bersekutu dengan Pahang, Palembang, Jambi, Indragiri, Kampar, dan Siak dalam
usaha melawan Aceh. Tahun 1614 Aceh berhasil mengalahkan Portugis di Bintan,
tahun 1617 berhasil merebut Pahang, tahun 1620 kedah juga mampu ditaklukan,
tahun 1632 dia merampok lagi ibu kota Johor, tahun 1624/5 dia berhasil merebut
Nias. Dari sekian rentetan ekspansi yang dilakukan Iskandar Muda, pada tahun
1629 gerakan ekspansinya berhasil dihentikan oleh portugis, bahkan di tahun
yang sama raja jawa yaitu sultan agung pun juga terhenti ekspansinya terhadap
Portugis. Pada tahun itu Iskandar Muda Mengirimkan ekspedisi yang terdiri dari
ratusan kapal untuk menggempur malaka akan tetapi Ekspdisi ini dapat ditumpas
habis oleh portugis dan Iskandar muada kehilangan semua kapal dan 19000
prajuritnya hilang.
Iskandar Muda telah berhasil membentuk Aceh menjadi
kekuasaan tertinggi atas pelabuhan-pelabuhan perdagangan yang penting di
Sumatra bagian utara. Akan tetapi ia tidak pernah berusaha menguasai lampung
sebagai penghasil lada disumatra bagian selatan karena lampung berada dibawah
kekuasaan Banten, dia juga tidak bisa menegakkan hegemoni Aceh di selat Malaka.
Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda memang mencapai pada masa keemasannya, akan
tetapi sebetulnya aceh pun juga berdiri dibawah pondasi yang rapuh. Baik secara
ketahanan pangan negeri serta alasan-alasan politik, seperti raja-raja umumnya
Iskandar Muda pun memiliki kaum-kaum elite yang berada dibawahnya, pada masa
pemerintahannya kum-kaum ini berhasil untuk dibuat selalu loyal dan tunduk pada
sultan, orang kaya(sebuatan bagi kaum
elite). Sultan terus melalukan pengawasan dan terhadap kaum elite (orang kaya)
ini serta melakukan monopoli perdagangan atas kaum elite agar raja tetap selalu
Kaya, sedangkan pihak-pihak lain selalu tergantung pada kemurahan hati raja.
Pada pemerintahan sultan Iskandar Muda kaum-kaum elite berhasil dipaksa atau
dibujuk untuk selalu mendukung cita-cita sultan. Akan tetapi sebetulnya para
kaum elite ini juga merasa sangat berat karena biaya yang selalu dibebankan
untuk memenuhi cita-cita sultan teramat besar yang harus dibayarkan oleh kaum
elite serta tangan besi sultan apabila menolak untuk mendukung sultan.
Iskandar Muda telah memerintahkan agar putranya
dibunuh dan menunjuk Iskandar Thani
Alauddin Syah(1634-41), putra Sultan Ahmad dari Pahang, sebagai
Penggantinya. Pada masa pemerintahan
Iskandar Thani tidak pernah lagi dilakukan aksi-aksi yang agresif, dan istana
menjadi sangat terkenal sebagai pusat pengetahuan agama Islam. Setelah Ia
meninggal kalangan Elite Aceh menegakkan pengaruh dan kepentingan pribadi
mereka. Merka menempatkan janda Iskandar Tahani (putrid Iskandar Muda) diatas
tahta dengan gelar Ratu Taj ul-Alam(1641-75), dan mengadakan perjanjian dengan
Johor yang menyebutkan bahwa mulai saat itu masing-masing pihak akan
memeikirkan urusannya masing-masing. Mulai saat itu johor berkembang menjadi
negeri yang makmur dan memiliki pengaruh yang sangat besar, karena pada Tahun
1641 bukan hanya ancaman dari Aceh saja yang hilang, melainkan bersama-sama
dengan VOC johor juga berhasil mengusir portugis dari malaka.
Pada awal abad XVII di jawa ada tiga pusat Politik yang penting yang
mengkonsolidasikan kekuasaan mereka : Banten di Jawa Barat, Mataram di wilayah
pedalaman Jawa Tengah, dan Surabaya di Jawa timur. Negara Islam yang paling
penting di wilayah pantai utara jawa pada awal abad XVI adalah demak. Tampaknya
demak didirikan pada perempat terakhir abad XV oleh seorang asing yang beragama
Islam, yang kemungkinan besar adalah seorang cina yang bernama Cek Ko-po. Putranya
bernama Rodim/ Badruddin / Kamaruddin; ampaknya ia meninggal sekitar tahun
1504. Putra Rodim, atau mungkin adiknya, adalah yang menegakkan hegemoni Demak
di jawa yang tidak berlangsung lama ia ernama trenggana. Trenggana agaknya
memerintah demak dua kali, sekitar tahun 1505-1518 dan sekitar 1521-1546; kurun
waktu antara dua pemerintahan tersebut diisi oleh iparnya, Raja Yunus dari
Jepara, Trenggana mengatur pengluasan pengaruh Demak ke arah timur dan barat,
dan selama masa pemerintahannya yang kedualah kerajaan Hindu-Budha yang
terakhir di Jawa Timur runtuh sekitar tahun 1527. Demak digambarkan sebagai
pengganti langsung Majapahit dan ‘sultan’ demak yang pertama, Raden Patah,
disebutkan sebagai putra raja Majapahit yang terakhir dengan seorang putrid
berkebangsaan Cina. Usaha-usaha
penaklukan yang dilakukan Demak telah memekasa tunduknya pelabuhan-pelabuhan
besar lainnya. Tuban ditaklukan sekitar tahun 1527, Madiun berhasil direbut
sekitar tahun 1529-30; pada tahun 1530-an Surabaya (yang sudah menjadi
pelabuhan Islam) mengakui kekuasaan Demak, dan Pasuruan juga berhasil
ditaklukan, pada tahun 1540an / 1550an Kediri diserang lagi; dan sekitar tahun
1545 Malang berhasil direbut. ‘Sultan’ Trenggana tampaknya terbunuh dalam sebuah ekspedisi
melawan Panarukan pada Tahun 1546.
Di jawa bagian barat Demak mendukung pertumbuhan
Banten dan Cirebon. Sunan Gunungjati berangkay bersama-sama tentara Demak
sekitar tahun 1524-5 untuk mendirikan suatu pusat perdagangan yang juga
merupakan pangkalan yang strategis di Jawa Barat. Di Banten ia berhasil
menggulingkan penguasa lokal vasal negara Pajajaran yang beragama Hindu-Budha
di wilayah pedalaman Sunda. Sekitar tahun 1527 dia berhasil merebut pelabuhan
utama pajajaran, yaitu Sunda Kelapa (sekarang , Jakarta) dan berganti nama
menjadi Jayakerta atau Surakarta (jaya dan Makmur).
Banten diperintah oleh Gunungjati sebagai vasal
Demak, tetapi keturunannya kelak akan bebas dari kekuasaan Demak. Pada suatu
waktu setelah tahun 1552 Gunungjati pindah ke Cirebon dan membentuk garis
keturunan kerajaan yang lain yang juga memerintah secara merdeka.
Penguasa Banten Yang kedua, Hasanuddin (±1552-70),
memperluas kekuasan Banten ke daerah penghasil lada, Lampung, di Sumatra
selatan yang sudah sejak lama memiliki hubungan dengan Jawa Barat. Dengan
demikian dia telah meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai sebuah
pelabuhan lada.
Penguasa ketiga, Molana Yusup (±1570-1580) telah berhasil menaklukan Pajajaran
sekitar tahun 1579. Dengan jatuhnya Pajajaran, maka lenyaplah negara besar
terakhir yang menganut agama Hindu-Budha di Jawa.
Pada tengahan kedua abad XVI harapan-harapan Demak untuk
menguasai Jawa hancur berantakan .
penguasa Demak yang keempat, Sultan
Prawata (±1546-1561?), agaknya tidak berusaha melancarkan aksi-aksi seperti
yang telah dilakukan pendahulunya, Trenggana.
Bebrapa negara lain juga memainkan peranan yang
penting pada awal abad XVI, tetapi tak ada satupun negara yang mampu menendingi
usaha Demak dalam memperluas kekuasaannya di seluruh penjuru pula Jawa.
Diantaranya adalah Kudus, Jepara, Gresik,
Surabaya, dan Madura.
Pada pertengahan abad ke XVI muncul
dua kekuatan baru di wilayah pedalaman Jawa Tengah yang tidak menjadi pusat
kerajaan besar sejak abad X. daerah Pajang dan Mataram (lokasi kota Surakarta
dan Yogyakarta sekarang) merupakan daerah-daerah pertanian yang sangat subur.
Dengan munculnya kembali istana-istana di wilayah pedalaman Jawa, maka
berakhirlah peran dominan negara-negara pantai dalam politik Jawa. Akan tetapi
memerlukan waktu yang cukup lam dalam memunculkan dominasi wilayah pedalaman
dan jga disertai pertempuran sengit antara wilayah pantai dan pedalaman.
Kerajaan Pajang merupakan kerajaan
pertama yang muncul. Akan tetapi bukti-bukti untuk memeperkuat argumentasi
pajang sangat minim, sebatas dari kisah-kisah dongeng menyatakan bahwa pajang
dipimpin oleh Jaka Tingkir, ia
adalah menantu dari sultan Trenggana dari Demak, pajang pun secara otomatis
menjadi vasal Demak.
Mataram adalah daerah yang
menghasilkan wangsa Jawa Modern yang paling kuat dan paling lama. Babad-Babad
Jawa menyebutkan bahwa seorang yang bernama Kyai Gedhe Pemanahan telah berhasil menunaikan tugas besar untuk
Jaka Tingkir dengan membunuh lawan utamanya, Arya Penangsang dari Jipang
(1540-an/1550-an). Sebagai hadiah kepada Pemanahan maka akan diberikannya bumi
Mataram. Mungkin pada tahun 1570an Pemanahan menempati daerah Mataram dan
sesudah itu ia disebut Kyai Gedhe(Ki
Ageng) mataram dalam cerita-cerita dongeng. Mungkin Ia meninggal pada sekitar
tahun 1584.
Putra Pemanahan, Panembahan Senapati Ingalaga(±1584-1601) di dalam kronik-kronik
Jawa digambarkan sebagai pemrakarsa pengluasaan kerajaan Mataram. Pada waktu
orang-orang Belanda yang pertama tiba di Jawa pada akhir abad XVI, mataram
sudah merupakan sbuah negara yang kuat dan sedang mengembangkan
kekuasaannya. Oleh karena itu, jelas
tidak dapat diragukan sedikit pun bahwa Sultan
Agung bukanlah penguasa pertama dari garis keturunan Mataram. Sekitar Tahun
1587-8 Senapati agaknya berhasil mengalahkan Pajang, dan Jaka Tingkir
meninggal. Senapati mengambil alih tanda-tanda kerajaan yang keramat (pusaka)
yang merupakan simbol-simbol dan hiasan-hiasan supranatural kedaulatan.
Kemudian Senapati mulai memperluas kekuasaannya ke arah utara ke wilayah pantai
dan ke timur ke lembah-lembah sungai Sela dan Mediun. Senapati meninggal
sekitar tahun 1601 dan dimakamkan di istananya di Kota Gedhe. Mataram sudah
berdiri tegak sebagai negara besar di wilayah pedalaman Jawa Tengah. Akan
tetapi untuk menjadi negara yang berdaulat atas pulau Jawa masih belum bisa.
Bagaimanapun juga, dasar kekuasaan wangsa Jawa yang besar dan terakhir telah
terbentuk.
Kemudian penguasa selanjutnya adalah
Panembahan Seda Ing Krapyak(±?1601-13)
ia adalah putra Senapati. Pada masa pemerintahan ini banyak terjadi peperangan
dalam negeri (pemberontakan) tetapi bisa dikalahkan. Lawan Krapyak yang paling
kuat adalah Surabaya, pada tahun 1610 Krapyak mulai menyerang Surabaya secara
langsung. Sampai tahun 1613 serangan-serangan Mataram setiap tahun
menghancurkan panen padi Surabaya sehingga memperlemah dasar-dasar ekonominya.
Panembahan Seda Ing Krapyak
meninggal pada tahun 1613 dan diganti oleh putranya, Sultan Agung(1613-1646),
raja terbesar dari Mataram. Pada tahun 1614 Agung menyerang Surabaya bagian
selatan:ujung timur, Malang, dan kemungkinan juga Pasuruhan. Pada tahun 1615
Sultan Agung menduduki Wirasaba, bulan Januari 1616 Sultan Agung membinasakan
ekspedisi Surabaya. Sekarng Sultan agung melaju dengan kemenangan-kemenangan
yaitu lasem diduduki tahun 1616, pasuruhan tahun 1616/7, tahun 1619 Agung
menaklukan Tuban,dengan dikuasainya Tuban sekarang muncullah sebauh angkatan
laut Mataram yang mengancam kekuasaan Surabaya di Lautan. Pada tanggal 1620
hanya tinggal Surabaya saja yang enjadi perintang Sultan Agung dalam usaha
mencapai tujuannya di Jawa Timur. Dari tahun 1620 sampai 1625 secara periodik
sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya. Akhirnya,
sungai Brantas di bendung dan jatah air untuk kota diputus. Pada tahun 1625
surabaya sendiri berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena
mati kelaparan. Penguasa Surabaya masih diizinkan tinggal dengan status sebagai
vasal Mataram.
Pada tahun 1625 sudah muncul juga
sebuah kekuatan bary di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung jelas-jelas
lebih mengutamakan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya orang jawa daripada
VOC, tetapi perhatian akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa ini.
Sultan Agung jauh lebih baik dari sebagian besar pengganti-penggantinya dalam
memelihara keseimbangan antara legitimasi yang terpusat dan administrasi yang
di desentralisasi, yang keduanya bertumpu pada kekuatan militer. Sekitar tahun
1614-1622 ia membangun sebuah kompleks kraton baru, suatu pernyatan yang jelas
dari legitimasinya, Di Karta (kira-kira lima kilometer di sebelah selatan Kota
Gedhe).
Dalam tahun-tahun 1625-7 Sultan
Agung berada dipuncak kekuasannya. Akan tetapi, kehancuran sebagi akibat dari
ulahnya untuk mencuat tentu besar. Banyak dari daerah pantai telah hancur.;
penduduk dipindahkan. Berapa banyak rakyat yang mati karena peperangan dan
karena penyakit serta kelaparan yang disebabkan oleh kerusakan pertanian tidak
dapat dihitung. Dalam tahun-tahun 1625-7 timbul epidemic yang dahsyat, dan
dokumen-dokumen VOC menebutkan bahwa dua per tiga dari penduduk di beberapa
daerah telah meninggal. Bagi Sultan Agung tentu langkahnya tak boleh berhenti
dia sudah terlanjur basah dalam peperangan untuk menunjukkan kekuatan
militernya kepada daerah-daerah lawannya maupun daerah-daerah vasal Mataram.
Pada tahun 1627 Pati berusaha memberontak dan sultan Agung menindasnya dengan
mengalami kerugian yang sangat besar, akan tetapi Sultan Agung akan Kolep
ketika mengahadapi VOC tidak lama lagi.
Hubungan Sultan Agung dan VOC memang
sudah sulit. Hal ini bermula ketika pada tahun 1614 VOC menirimkan duta untuk
memberi selamat atas pengangkatan dirinya menjadi raja, sultan Agung
memperingatkan bahwa persahabatan yang mereka inginkan tidak akan mungkin
terlaksana apabila VOC berusaha merbut Tanah Jawa. VOC sangat tergantung dan
membutuhkan beras dari jawa, akan tetapi karena peperangan yang dilaukan oleh
sultan Agung mengakibatkan banyak lahan pertanian yang hancur sehingga
mengalami paceklik. Pada tahun 1618 sultan Agung melarang/menghentikan ekspor
beras ke VOC. Inilah titik awal hubungan VOC dan Mataram manjadi permusuhan.
Mulailah terjadi pertempuran yang sengit antara VOC dan Mataram.
Tentara Mataram diberangkatkan pada
tahun 1628. Setelah menempuh perjalanan sejauh 500km dari istana, maka kontingen-kontingen jawa
yang pertama tiba di Batavia pada bulan Agustus;
lascar yang kedua tiba bulan Oktober.
Akan tetapi penyerangan ini mengalami kekalahan yang besar sehingga tentra jawa
mundur pada bulan Desember.
Pada tahun 1629 mencoba sekali lagi
penyerangan yang kedua akan tetapi, hal ini justru menjadi malapetaka bagi
Sultan Agung. Pasukan digerakkan pada bulan Mei, tetapi pada bulan Juli
kapal-kapal VOC berhasil menemukan dan menghancurkan gudang-gudang beras dan
perahu-perahu diTega dan Cirebon yang dipersiapkan untuk tentara sultan Agung.
Penyerangan tahun 1629 hanya ertahan beberapa minggu (21Agustus-2 Oktober);
pihak jawa menderita kerugian yang teramat besar dan juga muncul wabah penyakit
serta kelaparan, sehingga tentara tercerai-berai dalam proses pulang ke
Mataram. VOC hanya menderita sedikit kerugian, akan tetapi pada tanggal 20
September Jan Pieterzoon Coen mati karena menderita
sakit di dalam benteng. Ambisi sultan Agung tidak seimbang dengan kemampuan
Militer dan Logistik sehingga telah mambawa ia pada jurang kehancuran didepan
Batavia. Mulai saat itulah mataram sudah tidak lagi menyerang VOC di Batavia,
alasan-alasan ditempuhnya langkah ini dapat ditemukan dalam analisis sultan
Agung mengenai kekuatan-kekuatan yang ada disekitarnya: VOC tidak dapat diusir
dari Batavia; pihak Portugis terlalu lemah untuk dimintai bantuannya; dan yang
terpenting bankitnya kembali musuh-musuh pribumi sehingga perhatian terhadap
terhadap mereka harus diprioritaskan. Pada tahun 1631-6 dia menumpas
pusat-pusat perlawanan di Sumedang dan Ukur di Jawa Barat. Tahun 1630 meletus
pemberontakan yang dipimpin oleh guru agama dari daerah Tembayat, Sultan Agung
membasmi habis pemberontak, pada tahun 1633 sultan Agung mengganti tahun saka
India yang biasa digunakan dengan suatu sistem kalender campuran Jawa-Islam
(Tahun Jawa). Hal ini bertujuan untuk memperbaharui kakuasaan kesakralan sultan
Agung. Setelah peristiwa ini sultan Agung mendapat banyak tantangan dari daerah
yang ingin memberontak.
Pada tahun 1640 sultan Agung
mendapatkan gelar baru dari duta yang ia kirim ke mekkah untuk mendapat nama
arabnya(muslimnya) gelarnya adalah Sultan
Abdullah Muhammad Maulana Matarani. Akhirnya sultan Agung berdiam, dan
menikmati masa-masa damai yang penting artinya dalam masa pemerintahannya. Pada
tahun 1645 ia mulai membangun sebuah situs pemakaman baru di puncak sebuah
bukit yang tinggi di Imogiri. Wabah-wabah penyekit meraja lela pada tahun
1640an, dan salah satu wabah tersebut mungkin sekali menyebabkan meninggalnya
sultan Agung. Sultan Agung meninggal pada awal tahun 1646. Putranya dinyatakan
sebagi penggantinya dengan gelar Susuhunan
Amangkurat I (1647-77). Satu-satunya
kegagalan keriernya (sultan agung) adalah kegagalan merbut Batavia, dan
satu-satunya negra yang masih merdeka di pulau jawa adalah Banten yang terletak diujung bagian barat.
Di luar Jawa dan Sumatera tidak ada
satu pun penakluk yang sebanding dengan raja-raja Aceh dan Mataram seperti yang
telah dilukiskan dalam bab ini. Tentu mungkin juga ada peristiwa-peristiwa
besar yang ada di laur Aceh dan Mataram akan tetapi asih sulit untuk menemukan
data yang otentik dan mampu di konfrontir secara jelas atas hal-hal diluar
pualu jawa dan sumatera.
Di Sulawesi Selatan terdapat
beberapa negara kecil yang terbagi antara dua suku bangsa yang serumpun,
Makasar dan Bugis. Kedua suku bangsa ini sangat terkenal karena reputasi mereka
sebagai prajurit-prajurit yang paling ditakuti di antara prajurit-prajurit di
nusantara. Mereka adalah prajurit yang professional.
Pada pertengahan abad XVI goa telah
mengukuhkan diri sebagai pemimpin sebuah kerajaan serikat yang renggangdan
telah muncul sebagai sebuah kekuatan dagang yang utama di Indonesia bagian
timur. Orang-orang Portugis tiba dikawasan ini pada tahun 1540an dan setelah
melakukan usaha-usaha kristenisasi dalam waktu yang tidak begitu lama mereka
turut berpartisipasi dalam perdagangan rempah-rempah dan budak. Pada tahun 1605
Raja Gowa memeluk agama Islam, tampaknya ajakannya terhadap Bone, negara dari
orang-orang Bugis dan negara-negara lainnya supaya memeluk agama baru itu
ditolak. Gowa menanggapinya dengan cara penyerangan pada tahun 1608-11.
Sehingga mengakibatkan tersebarnya agama Islam di Seluruh penjuru wilayah
Bugis-Makassar. Pada akhir peperangan-peperangan tersebut Gowa merupakan negara
yang paling menonjol di Sulawesi Selatan. Negara-negara yang menjadi
taklukannya tetap memeiliki identitas sendiri dan otonomi yang sangat luas.
Saingan utama Gowa adalah Bone, yang akan menjungkirkan hubungan kekuasaannya
dengan Gowa pada akhir abad XVII dengan jalan menjalin prsekutuan dengan VOC.
VOC mendirikan pusat perdagangannya
yang pertama di Sulawesi selatan pada tahun 1609. Tetapi segara diketahuinya
bahwa Gowa merupakan penghalang utama bagi rencana-rencananya. Sultan Gowa
bekerja sama dengan pedagang-pedagang Inggris, Prancis, Denmark, Spanyol,
Portugis, dan Asia dalam rangka mencegah tercapainya usaha-uaha VOC untuk
memonopoli rempah-rempah. Pada tahun 1615 pos VOC ditinggalkan dan mulai
berkobarlah peperangan terbatas antara Gowa dan VOC. Perjanjian-perjanjian
perdamaian berhasil ditandatangani pada bulan Juni 1637, Desember 1655,
Agustus-Desember 1660, tetapi perjanjian-perjanjian itu tidak menghapus arti
penting Gowa Sebagai Sebuah pusat perdagangan internasional dan pusat
perlawanan terhadap VOC. Akan tetapi, pada tahun 1660 pihak Belanda dan Bugis
telah mengambil keputusan untuk menjalin persekutuan dalam melawan musuh yang
sama, yaitu Makassar, yang akan mengakibatkan jatuhnya Gowa.
Kaitan
Peristiwa tersebut terhadap Ilmu Administrasi Negara
1. Dalam membuat keputusan harus
benar-benar mempertimbangkan keadaan yang ada dilingkungan kita agar tidak
memberikan dampak buruk dikemudian harinya.
2. Negara harus disusun secara
solid antara pemerintah dan bawahan agar menghasilkan kelestarian negara.
3. Perlunya pencatatan yang
terperinci dan akurat atas semua kejadian-kejadian yang menyangkut negara agar
mampu digunakan sebagai pembelajaran pemerintahan dimasa mendatang.
INFORMASI
TAMBAHAN
Kerajaan Aceh
Bendera Kerajaan
Aceh.
Peta Wilayah
Kerajaan Aceh
Sultan Iskandar Muda Menghukum Mati Anaknya Sendiri Karena Menegakkan Syariat Islam.[1]
Meurah Pupok
adalah salah satu anak dari Sultan Iskandar Muda, makamnya terletak di
salah satu makam di dalam kawasan petak, Meurah Pupok dijatuhkan hukuman
hudud oleh ayahnya sendiri yaitu Sultan Iskandar Muda atas kesalahan berzina
dengan isteri salah seorang pengawal istana. Berbagai hukuman cadangan
diberikan agar Baginda meringankan hukuman ke atas Meurah
Pupok memandangkan ia anak seorang Sultan, namun Iskandar Muda menolak
semua cadangan itu demi memastikan Syariat Islam tertegak ke atas sesiapa
sahaja.
Suatu contoh
teladan yang patut diikuti oleh pemimpin kita saat ini, sikap patriot yang
sangat tegas dari seorang pemimpin yang tidak kenal perbedaan dalam menegakkan
sebuah aturan.
sikap yang sudah
hampir tidak mungkin kita dapati lagi pada pemerintahan di masa kebangkrutan
moral seperti saat ini.
Meurah Pupok
adalah anak dari isterinya yang bergelar Putri Gayo yaitu yang
berasal dari suku Gayo salah satu suku di Aceh Tengah.
isteri Iskandar
Muda yang lain adalah Putri Sani yang berasal dari Ribee, Pidie,
Aceh. Dari Putri Sani, lahirlah anak yang akhirnya menjadi salah seorang
Sultanah Aceh iaitu Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam (1641-1675). Ratu
Safituddin ini berkahwin dengan anak kepada Sultan Ahmad Syah, Pahang, Malaysia
yang akhirnya menjadi Sultan ke-13 selepas Sultan Iskandar Muda. Beliau adalah
Sultan Iskandar Thani (II) (1636-1641). Selepas zamannya, maka bermulalah Aceh
diperintah oleh para Sultanah dengan dimulai oleh Sultanah Safiatuddin.
Isteri Sultan
Iskandar Muda yang terkenal adalah Putroe Phang (Puteri Pahang). Namanya
adalah Puteri Kamaliah. Ia merupakan puteri dari Kesultanan Pahang setelah
Pahang ditakluk oleh Aceh pada tahun 1617. Ada yang mengatakan bahawa Putroe
Phang ini adik kepada Sultan Ahmad Syah, Pahang pada masa itu. Namun, hasil
perkahwinan antara Iskandar Muda dengan Putroe Phang tidak melahirkan anak.
Anak Iskandar
Muda yang bergelar Meurah Pupok ini adalah hasil perkahwinan Baginda dengan
Putri Gayo. Kalimah ‘Meurah’ adalah gelaran bagi Raja-Raja Aceh sebelum
kedatangan Islam. Contohnya adalah Meurah Silu iaitu orang yang awal
mendirikan Kerajaan Islam Samudera Pasai (sekarang Aceh
Timur). Kerajaan Samudera Pasai bermula pada tahun 1042 sehingga 1427
Masihi. Meurah Silu di Islamkan sekitar tahun 1270-1275 Masihi oleh seorang
ulama’ dari Mekah iaitu Sheikh Ismail. Akhirnya nama beliau bertukar
menjadi Sultan Malikus Saleh. Kerajaan ini dimulai dengan Islam
dizaman pemerintahannya iaitu tahun 1261-1289 Masihi. Dalam bahasa Gayo,
kalimah ‘Meurah’ disebut sebagai ‘Marah’.
Kini, makam
Meurah Pupok iaitu anak Sultan Iskandar Muda ini dikelilingi oleh lebih 2000
makam tentera Belanda yang berjaya dibunuh oleh para Mujahid Aceh sekitar tahun
18. Di makam Meurah Pupok, tercatat kata-kata yang sangat masyhur dari Sultan
Iskandar Muda saat menjatuhkan hukuman hudud ke atas anaknya itu yaitu “Mate Aneuk Meupat Jirat, Gadoh
Adat Pat Tamita” . Perkataan yang diucapkan oleh baginda di dalam bahasa Aceh ini
bermaksud ‘ Mati Anak Boleh Dicari Kuburnya, Tetapi Mati Adat Dimana
Lagi Mahu Dicari’. Maksud ‘adat’ didalam ayat ini adalah adat-adat
yang Islami yang dihidupkan di bumi Aceh Darussalam pada masa itu.
Dalam sejarah
Kerajaan Islam Aceh Darussalam di era Kesultanan Aceh (1514-1903), tercatat
bahawa adalah seorang lagi sultan yang sangat tegas melaksanakan perintah Allah
walaupun terhadap anggota keluarganya sendiri iaitu Sultan Alauddin Riayat
Syah II Al-Qahhar (Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid Al-Mukammil), sultan Aceh
yang ke-10 yang memerintah pada tahun 1588-1604. Ini diakui oleh Teungku
Hasanuddin Yusuf Adan (Ketua Dewan Dakwah Islamiah Indonesia-Cabang Aceh
(DDII) / pensyarah Fakultas Syariah IAIN Ar-Raniry)dalam tulisan beliau,
Syariat Islam di Aceh: Antara Implementasi dan Diskriminasi, menyatakan bahawa:
“sebagai contoh konkrit tentang pelaksanaan Syariat Islam yang
berkenaan dengan hukum hudud dalam kerajaan Aceh Darussalam adalah apa yang
terjadi pada masa Sultan Alauddin Riayat Syah II Al-Qahhar yang telah melakukan
hukuman bunuh ( qishas ) terhadap puteranya sendiri, Abangta yang ditangkap
kerana zalim, membunuh orang lain dan melawan hukum serta adat yang berlaku
dalam kerajaan”.
Malangnya, ada
buku-buku sejarah yang menulis bahawa, Aceh berada di bawah pemerintahan yang
kejam dan keras iaitu zaman Iskandar Muda. Sekarang barulah kita mengetahui,
yang dimaksudkan dengan kejam dan keras itu adalah kerana beliau melaksanakan
Syariat Allah dalam pemerintahannya. Inilah sejarah yang ditulis oleh para
orientalis dan anak didik mereka
Raden Patah.[2]
Raden Patah adalah pendiri dan
sultan pertama Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1500-1518. Pada masanya
Masjid Demak didirikan, dan kemudian ia dimakamkan di sana.
“Saya adalah ulama asing
yang datang ke Pulau Jawa. Hanya sementara waktu saja saya memimpin masyarakat
Islam Jawa berkat ijin Sang Prabu (Raja Majapahit). Berbeda dengan kamu. Kamu
orang Jawa tulen, turun-temurun orang Jawa yang memiliki Pulau Jawa.”
Kata-kata Sunan Ampel (salah seorang Wali Songo) itu telah menjadi perangsang
kepada Raden Patah yang kemudiannya telah menegakkan kerajaan Demak, yaitu
kerajaan Islam yang pertama di Jawa. Raden Patah telah memainkan peranan yang
amat penting dalam pengislaman orang-orang di Jawa dan timur Nusantara. Dengan
berdirinya kerajaan Islam Demak dan penaklukannya atas kerajaan Hindu Majapahit
serta pengusiran tentara Portugis dari Jawa Barat, jalan pengislaman Jawa
menjadi terbuka lebar. Pembangunan kerajaan Islam Demak merupakan satu titik
peralihan dalam sejarah Jawa dan timur Nusantara.
Asal-Usul Raden Patah
Terdapat berbagai versi tentang
asal-usul pendiri Kesultanan Demak.
Menurut Babad Tanah Jawi, Raden
Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang
selir Cina. Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri yang berasal dari Campa
merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra
sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah,
putri Cina dinikahi Arya Damar, melahirkan Raden Kusen.
Menurut kronik Cina dari kuil
Sam Po Kong, nama asli Raden Patah adalah Jin Bun, putra Kung-ta-bu-mi (alias
Bhre Kertabhumi) raja Majapahit (versi Pararaton) dari selir Cina. Kemudian
selir Cina diberikan kepada seorang peranakan Cina bernama Swan Liong di
Palembang. Dari perkawinan kedua itu lahir Kin San. Kronik Cina ini memberitakan
tahun kelahiran Jin Bun adalah 1455. Mungkin Raden Patah lahir saat Bhre
Kertabhumi belum menjadi raja (memerintah tahun 1474-1478).
Menurut Purwaka Caruban Nagari,
nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari
Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syaikh
Bantong.
Menurut Sejarah Banten, Pendiri
Demak bernama Cu Cu, putra mantan perdana menteri Cina yang pindah ke Jawa. Cu
Cu mengabdi ke Majapahit dan berjasa menumpas pemberontakan Arya Dilah bupati
Palembang. Berita ini cukup aneh karena dalam Babad Tanah Jawi, Arya Dilah
adalah nama lain Arya Damar, ayah angkat Raden Patah sendiri. Selanjutnya, atas
jasa-jasanya, Cu Cu menjadi menantu raja Majapahit dan dijadikan bupati Demak
bergelar Arya Sumangsang.
Menurut Suma Oriental karya Tome
Pires, pendiri Demak bernama Pate Rodin, cucu seorang masyarakat kelas rendah
di Gresik.
Meskipun terdapat berbagai
versi, namun terlihat kalau pendiri Kesultanan Demak memiliki hubungan dengan
Majapahit, Cina, Gresik, dan Palembang.
Raden Patah Mendirikan
Demak
Babad Tanah Jawi menyebutkan,
Raden Patah menolak menggantikan Arya Damar menjadi bupati Palembang. Ia kabur
ke pulau Jawa ditemani Raden Kusen. Sesampainya di Jawa, keduanya berguru pada
Sunan Ampel di Surabaya. Raden Kusen kemudian mengabdi ke Majapahit, sedangkan
Raden Patah pindah ke Jawa Tengah membuka hutan Glagahwangi menjadi sebuah
pesantren.
Makin lama Pesantren Glagahwangi
semakin maju. Brawijaya di Majapahit khawatir kalau Raden Patah berniat
memberontak. Raden Kusen yang kala itu sudah diangkat menjadi Adipati Terung
diperintah untuk memanggil Raden Patah.
Raden Kusen menghadapkan Raden
Patah ke Majapahit. Brawijaya merasa terkesan dan akhirnya mau mengakui Raden
Patah sebagai putranya. Raden Patah pun diangkat sebagai bupati, sedangkan
Glagahwangi diganti nama menjadi Demak, dengan ibu kota bernama Bintara.
Menurut kronik Cina, Jin Bun
pindah dari Surabaya ke Demak tahun 1475. Kemudian ia menaklukkan Semarang
tahun 1477 sebagai bawahan Demak. Hal itu membuat Kung-ta-bu-mi di Majapahit
resah. Namun, berkat bujukan Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel), Kung-ta-bu-mi
bersedia mengakui Jin Bun sebagai anak, dan meresmikan kedudukannya sebagai
bupati di Bing-to-lo.
Perang Demak dan
Majapahit
Perang antara Demak dan
Majapahit diberitakan dalam naskah babad dan serat, terutama Babad Tanah Jawi
dan Serat Kanda. Dikisahkan, Sunan Ampel melarang Raden Patah memberontak pada
Majapahit karena meskipun berbeda agama, Brawijaya tetaplah ayah Raden Patah.
Namun sepeninggal Sunan Ampel, Raden Patah tetap menyerang Majapahit. Brawijaya
moksa dalam serangan itu. Untuk menetralisasi pengaruh agama lama, Sunan Giri
menduduki takhta Majapahit selama 40 hari.
Kronik Cina dari kuil Sam Po
Kong juga memberitakan adanya perang antara Jin Bun melawan Kung-ta-bu-mi tahun
1478. Perang terjadi setelah kematian Bong Swi Hoo (alias Sunan Ampel). Jin Bun
menggempur ibu kota Majapahit. Kung-ta-bu-mi alias Bhre Kertabhumi ditangkap
dan dipindahkan ke Demak secara hormat. Sejak itu, Majapahit menjadi bawahan
Demak dengan dipimpin seorang Cina muslim bernama Nyoo Lay Wa sebagai bupati.
Pada tahun 1485 Nyoo Lay Wa mati
karena pemberontakan kaum pribumi. Maka, Jin Bun mengangkat seorang pribumi
sebagai bupati baru bernama Pa-bu-ta-la, yang juga menantu Kung-ta-bu-mi.
Tokoh Pa-bu-ta-la ini identik
dengan Prabu Natha Girindrawardhana alias Dyah Ranawijaya yang menerbitkan
prasasti Jiyu tahun 1486 dan mengaku sebagai penguasa Majapahit, Janggala, dan
Kadiri.
Selain itu, Dyah Ranawijaya juga
mengeluarkan prasasti Petak yang berkisah tentang perang melawan Majapahit.
Berita ini melahirkan pendapat kalau Majapahit runtuh tahun 1478 bukan karena
serangan Demak, melainkan karena serangan keluarga Girindrawardhana.
Pemerintahan Raden Patah
Apakah Raden Patah pernah
menyerang Majapahit atau tidak, yang jelas ia adalah raja pertama Kesultanan
Demak. Menurut Babad Tanah Jawi, ia bergelar Senapati Jimbun Ningrat
Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama, sedangkan menurut Serat
Pranitiradya, bergelar Sultan Syah Alam Akbar.
Nama Patah sendiri berasal dari
kata al-Fatah, yang artinya “Sang Pembuka”, karena ia memang pembuka kerajaan
Islam pertama di pulau Jawa.
Pada tahun 1479 ia meresmikan
Masjid Agung Demak sebagi pusat pemerintahan. Ia juga memperkenalkan pemakaian
Salokantara sebagai kitab undang-undang kerajaan. Kepada umat beragama lain,
sikap Raden Patah sangat toleran. Kuil Sam Po Kong di Semarang tidak dipaksa
kembali menjadi masjid, sebagaimana dulu saat didirikan oleh Laksamana Cheng Ho
yang beragama Islam.
Raden Patah juga tidak mau
memerangi umat Hindu dan Buddha sebagaimana wasiat Sunan Ampel, gurunya.
Meskipun naskah babad dan serat memberitakan ia menyerang Majapahit, hal itu
dilatarbelakangi persaingan politik memperebutkan kekuasaan pulau Jawa, bukan
karena sentimen agama. Lagi pula, naskah babad dan serat juga memberitakan
kalau pihak Majapahit lebih dulu menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di
Gresik.
Tome Pires dalam Suma Oriental
memberitakan pada tahun 1507 Pate Rodin alias Raden Patah meresmikan Masjid
Agung Demak yang baru diperbaiki. Lalu pada tahun 1512 menantunya yang bernama Pate Unus bupati Jepara menyerang Portugis
di Malaka.
Tokoh Pate Unus ini identik dengan Yat Sun dalam
kronik Cina yang diberitakan menyerang bangsa asing di Moa-lok-sa tahun 1512.
Perbedaannya ialah, Pate Unus adalah menantu Pate Rodin,
sedangkan Yat Sun adalah putra Jin Bun. Kedua berita, baik dari sumber Portugis
ataupun sumber Cina, sama-sama menyebutkan armada Demak hancur dalam
pertempuran ini.
Menurut kronik Cina, Jin Bun
alias Raden Patah meninggal dunia tahun 1518 dalam usia 63 tahun. Ia digantikan
Yat Sun sebagai raja selanjutnya, yang dalam Babad Tanah Jawi bergelar Pangeran
Sabrang Lor.
Keturunan Raden Patah
Menurut naskah babad dan serat,
Raden Patah memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah putri Sunan Ampel , menjadi permaisuri utama,
melahirkan Raden Surya dan Raden Trenggana, yang masing-masing secara berurutan
kemudian naik takhta, bergelar Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Istri yang kedua seorang putri
dari Randu Sanga, melahirkan Raden Kanduruwan. Raden Kanduruwan ini pada
pemerintahan Sultan Trenggana berjasa menaklukkan Sumenep.
Istri yang ketiga adalah putri
bupati Jipang, melahirkan Raden Kikin dan Ratu Mas Nyawa. Ketika Pangeran
Sabrang Lor meninggal tahun 1521, Raden Kikin dan Raden Trenggana bersaing
memperebutkan takhta. Raden Kikin akhirnya mati dibunuh putra sulung Raden
Trenggana yang bernama Raden Mukmin alias Sunan Prawata, di tepi sungai. Oleh
karena itu, Raden Kikin pun dijuluki Pangeran Sekar Seda ing Lepen, artinya
bunga yang gugur di sungai.
Kronik Cina hanya menyebutkan
dua orang putra Jin Bun saja, yaitu Yat Sun dan Tung-ka-lo, yang masing-masing
identik dengan Pangeran Sabrang Lor dan Sultan Trenggana.
Suma Oriental menyebut Pate
Rodin memiliki putra yang juga bernama Pate Rodin, dan menantu bernama Pate Unus. Berita versi Portugis ini
menyebut Pate Rodin Yunior lebih tua usianya dari pada Pate Unus . Dengan kata lain Sultan
Trenggana disebut sebagai kakak ipar Pangeran Sabrang Lor.
Kesultanan Mataram.[3]
Kesultanan Mataram adalah kerajaan Islam di Pulau Jawa yang pernah berdiri pada abad
ke-17. Kerajaan ini dipimpin suatu dinasti keturunan Ki Ageng Sela dan Ki Ageng Pemanahan,
yang mengklaim sebagai suatu cabang ningrat keturunan penguasa Majapahit. Asal-usulnya adalah suatu
Kadipaten di bawah Kesultanan Pajang,
berpusat di "Bumi Mentaok" yang diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan
sebagai hadiah atas jasanya. Raja berdaulat pertama adalah Sutawijaya (Panembahan Senapati), putra
dari Ki Ageng Pemanahan.
Kerajaan Mataram pada masa
keemasannya pernah menyatukan tanah Jawa dan sekitarnya, termasuk Madura.
Negeri ini pernah memerangi VOC di Batavia untuk mencegah semakin berkuasanya
firma dagang itu, namun ironisnya malah harus menerima bantuan VOC pada
masa-masa akhir menjelang keruntuhannya.
Mataram merupakan kerajaan
berbasis agraris/pertanian dan relatif lemah secara maritim. Ia meninggalkan
beberapa jejak sejarah yang dapat dilihat hingga kini, seperti kampung Matraman
di Batavia/Jakarta, sistem persawahan di Pantura Jawa Barat, penggunaan hanacaraka dalam literatur bahasa Sunda, politik feodal di Pasundan,
serta beberapa batas administrasi wilayah yang masih berlaku hingga sekarang.
Masa awal
Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut
wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati.
Pada saat itu wilayahnya hanya di sekitar Jawa Tengah saat ini, mewarisi wilayah Kerajaan Pajang. Pusat pemerintahan berada
di Mentaok, wilayah yang terletak kira-kira di
timur Kota Yogyakarta
dan selatan Bandar Udara Adisucipto sekarang. Lokasi keraton (tempat kedudukan
raja) pada masa awal terletak di Banguntapan, kemudian dipindah ke Kotagede.
Sesudah ia meninggal (dimakamkan di Kotagede)
kekuasaan diteruskan putranya Mas Jolang yang
setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati
tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang
berburu di hutan Krapyak. Karena itu ia juga disebut Susuhunan
Seda Krapyak atau Panembahan Seda Krapyak yang artinya Raja
(yang) wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan
putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro.
Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf sehingga tahta beralih ke
putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsangpada masa pemerintahan Mas
Rangsang,Mataram mengalami masa keemasan.
Sultan Agung
Sesudah naik tahta Mas Rangsang
bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan
sebutan Sultan Agung. Pada masanya Mataram
berekspansi untuk mencari pengaruh di Jawa. Wilayah Mataram mencakup Pulau Jawa
dan Madura (kira-kira gabungan Jawa Tengah, DIY,
dan Jawa Timur sekarang). Ia memindahkan lokasi
kraton ke Karta (Jw. "kertå", maka muncul
sebutan pula "Mataram Karta"). Akibat terjadi gesekan dalam
penguasaan perdagangan antara Mataram dengan VOC
yang berpusat di Batavia, Mataram lalu berkoalisi dengan Kesultanan Banten dan Kesultanan Cirebon
dan terlibat dalam beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah
wafat (dimakamkan di Imogiri), ia digantikan
oleh putranya yang bergelar Amangkurat
(Amangkurat I).
Terpecahnya Mataram
Peta Mataram Baru yang telah dipecah menjadi empat kerajaan
pada tahun 1830, setelah Perang Diponegoro. Pada peta ini terlihat
bahwa Kasunanan Surakarta
memiliki banyak enklave di wilayah Kasultanan
Yogyakarta dan wilayah Belanda. Mangkunagaran juga memiliki sebuah
enklave di Yogyakarta. Kelak enklave-enklave ini dihapus.
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke Plered (1647), tidak jauh dari Karta.
Selain itu, ia tidak lagi menggunakan gelar sultan, melainkan "sunan"
(dari "Susuhunan" atau "Yang Dipertuan"). Pemerintahan
Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Pada
masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu
dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum (1677) ketika
mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum. Penggantinya, Amangkurat II
(Amangkurat Amral), sangat patuh pada VOC sehingga kalangan istana banyak yang
tidak puas dan pemberontakan terus terjadi. Pada masanya, kraton dipindahkan
lagi ke Kartasura
(1680), sekitar 5km sebelah barat Pajang karena kraton yang lama dianggap telah
tercemar.
Pengganti Amangkurat II
berturut-turut adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719),
Amangkurat IV (1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai
Amangkurat III karena menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I
(Puger) sebagai raja. Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan
perpecahan internal. Amangkurat III memberontak dan menjadi "king in
exile" hingga tertangkap di Batavia lalu dibuang ke
Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat
diselesaikan pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi
dua yaitu Kesultanan
Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta
tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti
(nama diambil dari lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar, Jawa Tengah). Berakhirlah era
Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian
masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.
Peristiwa Penting Mataram Islam
- 1558 - Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram oleh Sultan Pajang Adiwijaya atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang.
- 1577 - Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede.
- 1584 - Ki Ageng Pemanahan meninggal. Sultan Pajang mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram, bergelar "Ngabehi Loring Pasar" (karena rumahnya di utara pasar).
- 1587 - Pasukan Kesultanan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
- 1588 - Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan, bergelar "Senapati Ingalaga Sayidin Panatagama" artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama.
- 1601 - Panembahan Senopati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang bergelar Panembahan Hanyakrawati dan kemudian dikenal sebagai "Panembahan Seda ing Krapyak" karena wafat saat berburu (jawa: krapyak).
- 1613 - Mas Jolang wafat, kemudian digantikan oleh putranya Pangeran Aryo Martoputro. Karena sering sakit, kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang. Gelar pertama yang digunakan adalah Panembahan Hanyakrakusuma atau "Prabu Pandita Hanyakrakusuma". Setelah Menaklukkan Madura beliau menggunakan gelar "Susuhunan Hanyakrakusuma". Terakhir setelah 1640-an beliau menggunakan gelar bergelar "Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman"
- 1645 - Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Susuhunan Amangkurat I.
- 1645 - 1677 - Pertentangan dan perpecahan dalam keluarga kerajaan Mataram, yang dimanfaatkan oleh VOC.
- 1677 - Trunajaya merangsek menuju Ibukota Pleret. Susuhunan Amangkurat I mangkat. Putra Mahkota dilantik menjadi Susuhunan Amangkurat II di pengasingan. Pangeran Puger yang diserahi tanggung jawab atas ibukota Pleret mulai memerintah dengan gelar Susuhunan Ing Ngalaga.
- 1680 - Susuhunan Amangkurat II memindahkan ibukota ke Kartasura.
- 1681 - Pangeran Puger diturunkan dari tahta Plered.
- 1703 - Susuhunan Amangkurat III wafat. Putra mahkota diangkat menjadi Susuhunan Amangkurat III.
- 1704 - Dengan bantuan VOC Pangeran Puger ditahtakan sebagai Susuhunan Paku Buwono I. Awal Perang Tahta I (1704-1708). Susuhunan Amangkurat III membentuk pemerintahan pengasingan.
- 1708 - Susuhunan Amangkurat III ditangkap dan dibuang ke Srilanka sampai wafatnya pada 1734.
- 1719 - Susuhunan Paku Buwono I meninggal dan digantikan putra mahkota dengan gelar Susuhunan Amangkurat IV atau Prabu Mangkurat Jawa. Awal Perang Tahta Jawa Kedua (1719-1723).
- 1726 - Susuhunan Amangkurat IV meninggal dan digantikan Putra Mahkota yang bergelar Susuhunan Paku Buwono II.
- 1742 - Ibukota Kartasura dikuasai pemberontak. Susuhunan Paku Buwana II berada dalam pengasingan.
- 1743 - Dengan bantuan VOC Ibukota Kartasura berhasil direbut dari tangan pemberontak dengan keadaan luluh lantak. Sebuah perjanjian sangat berat (menggadaikan kedaulatan Mataram kepada VOC selama belum dapat melunasi hutang biaya perang) bagi Mataram dibuat oleh Susuhunan Paku Buwono II sebagai imbalan atas bantuan VOC.
- 1745 - Susuhunan Paku Buwana II membangun ibukota baru di desa Sala di tepian Bengawan Beton.
- 1746 - Susuhunan Paku Buwana II secara resmi menempati ibukota baru yang dinamai Surakarta. Konflik Istana menyebabkan saudara Susuhunan, P. Mangkubumi, meninggalkan istana. Meletus Perang Tahta Jawa Ketiga yang berlangsung lebih dari 10 tahun (1746-1757) dan mencabik Kerajaan Mataram menjadi dua Kerajaan besar dan satu kerajaan kecil.
- 1749 - 11 Desember Susuhunan Paku Buwono II menandatangani penyerahan kedaulatan Mataram kepada VOC. Namun secara de facto Mataram baru dapat ditundukkan sepenuhnya pada 1830. 12 Desember Di Yogyakarta, P. Mangkubumi diproklamirkan sebagai Susuhunan Paku Buwono oleh para pengikutnya. 15 Desember van Hohendorff mengumumkan Putra Mahkota sebagai Susuhunan Paku Buwono III.
- 1752 - Mangkubumi berhasil menggerakkan pemberontakan di provinsi-provinsi Pasisiran (daerah pantura Jawa) mulai dari Banten sampai Madura. Perpecahan Mangkubumi-RM Said.
- 1754 - Nicolas Hartingh menyerukan gencatan senjata dan perdamaian. 23 September, Nota Kesepahaman Mangkubumi-Hartingh. 4 November, PB III meratifikasi nota kesepahaman. Batavia walau keberatan tidak punya pilihan lain selain meratifikasi nota yang sama.
- 1755 - 13 Februari Puncak perpecahan terjadi, ditandai dengan Perjanjian Giyanti yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan atas Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing-Ngalaga Ngabdurakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah" atau lebih populer dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwono I.
- 1757 - Perpecahan kembali melanda Mataram. Perjanjian Salatiga, perjanjian yang lebih lanjut membagi wilayah Kesultanan Mataram yang sudah terpecah, ditandatangani pada 17 Maret 1757 di Kota Salatiga antara Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) dengan Sunan Paku Buwono III,VOC dan Sultan Hamengku Buwono I. Raden Mas Said diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Praja Mangkunegaran yang terlepas dari Kesunanan Surakarta dengan gelar "Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangku Nagara Senopati Ing Ayudha".
- 1788 - Susuhunan Paku Buwono III mangkat.
- 1792 - Sultan Hamengku Buwono I wafat.
- 1795 - KGPAA Mangku Nagara I meninggal.
- 1799 - Voc dibubarkan
- 1813 - Perpecahan kembali melanda Mataram. P. Nata Kusuma diangkat sebagai penguasa atas sebuah kepangeranan, Kadipaten Paku Alaman yang terlepas dari Kesultanan Yogyakarta dengan gelar "Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam".
- 1830 - Akhir perang Diponegoro. Seluruh daerah Manca nagara Yogyakarta dan Surakarta dirampas Belanda. 27 September, Perjanjian Klaten menentukan tapal yang tetap antara Surakarta dan Yogyakarta dan membagi secara permanen Kerajaan Mataram ditandatangani oleh Sasradiningrat, Pepatih Dalem Surakarta, dan Danurejo, Pepatih Dalem Yogyakarta. Mataram secara de facto dan de yure dikuasai oleh Hindia Belanda.
Perjanjian Giyanti
Naskah
Perjanjian Giyanti 1755
Perjanjian Giyanti adalah kesepakatan antara VOC, pihak Mataram (diwakili oleh Sunan Pakubuwana
III), dan kelompok Pangeran Mangkubumi.Kelompok Pangeran Sambernyawa
tidak ikut dalam perjanjian ini.Pangeran Mangkubumi demi keuntungan pribadi
memutar haluan menyeberang dari kelompok pemberontak bergabung dengan kelompok
pemegang legitimasi kekuasaan memerangi pemberontak yaitu Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian yang ditandatangani pada bulan 13 Februari 1755
ini secara de facto dan de jure menandai berakhirnya Kerajaan Mataram yang sepenuhnya independen. Nama Giyanti
diambil dari lokasi penandatanganan perjanjian ini, yaitu di Desa Giyanti
(ejaan Belanda, sekarang tempat itu berlokasi di
Dukuh Kerten, Desa Jantiharjo),
di tenggara kota Karanganyar,
Jawa Tengah.
Lokasi
penandatanganan Perjanjian Giyanti
Berdasarkan perjanjian ini,
wilayah Mataram dibagi dua: wilayah di sebelah timur Kali Opak (melintasi
daerah Prambanan sekarang) dikuasai oleh pewaris
tahta Mataram (yaitu Sunan Pakubuwana III) dan tetap berkedudukan di Surakarta, sementara wilayah di sebelah
barat (daerah Mataram yang asli) diserahkan kepada Pangeran Mangkubumi
sekaligus ia diangkat menjadi Sultan
Hamengkubuwana I yang berkedudukan di Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat
klausul, bahwa pihak VOC dapat menentukan siapa yang menguasai kedua wilayah
itu jika diperlukan.
Perundingan pembagian Kerajaan Mataram
Peta pembagian
Mataram setelah Perjanjian Giyanti dan didirikannya Mangkunagaran pada tahun
1757
Menurut dokumen register harian N.
Hartingh (Gubernur VOC untuk Jawa Utara), pada tanggal 10 September 1754
N. Hartingh berangkat dari Semarang untuk menemui
Pangeran Mangkubumi. Pertemuan dengan Pangeran Mangkubumi
sendiri baru pada 22 September 1754.
Pada hari berikutnya diadakan perundingan yang tertutup dan hanya dihadiri oleh
sedikit orang. Pangeran Mangkubumi
didampingi oleh Pangeran Notokusumo dan Tumenggung Ronggo.
Hartingh didampingi Breton, Kapten Donkel, dan sekretaris Fockens.
Sedangkan yang menjadi juru bahasa adalah Pendeta Bastani.
Pembicaraan pertama mengenai
pembagian Mataram. N. Hartingh menyatakan keberatan karena tidak mungkin ada
dua buah matahari. Mangkubumi menyatakan di Cirebon ada lebih dari satu Sultan.
Hartingh menawarkan Mataram sebelah timur.
Usul ini ditolak sang Pangeran. Perundingan berjalan kurang lancar karena masih
ada kecurigaan di antara mereka. Akhirnya setelah bersumpah untuk tidak saling
melanggar janji maka pembicaraan menjadi lancar. Kembali Gubernur VOC
mengusulkan agar Mangkubumi jangan menggunakan gelar Sunan, dan menentukan
daerah mana saja yang akan dikuasai oleh beliau. Mangkubumi berkeberatan
melepas gelar Sunan karena sejak 5 tahun lalu diakui rakyat sebagai Sunan.
(Pangeran Mangkubumi diangkat sebagai Sunan [Yang Dipertuan] atas kerajaan Mataram ketika Paku Buwono II wafat di daerah Kabanaran,
bersamaan VOC melantik Adipati Anom menjadi Paku Buwono III).
Perundingan terpaksa dihentikan
dan diteruskan keesokan harinya. Pada 23 September 1754
akhirnya tercapai nota kesepahaman bahwa Pangeran Mangkubumi akan
memakai gelar Sultan dan mendapatkan setengah Kerajaan. Daerah Pantai
Utara Jawa (orang Jawa sering menyebutnya dengan daerah
pesisiran) yang telah diserahkan pada VOC
(orang Jawa sering menyebut dengan Kumpeni) tetap dikuasai VOC
dan ganti rugi atas penguasaan Pantura Jawa oleh VOC
akan diberikan setengah bagiannya pada Mangkubumi. Terakhir, Pangeran
memperoleh setengah dari pusaka-pusaka istana. Nota kesepahaman tersebut
kemudian disampaikan pada Paku Buwono III.
Pada 4 November tahun yang sama, Paku Buwono III menyampaikan surat pada Gubernur
Jenderal VOC Mossel atas persetujuan
beliau tehadap hasil perundingan Gubernur Jawa
Utara dan Mangkubumi.
Berdasarkan perundingan 22-23 September 1754
dan surat persetujuan Paku Buwono III
maka pada 13 Februari 1755
ditandatangani 'Perjanjian di Giyanti yang kurang lebih poin-poinnya,
seperti dikemukakan Soedarisman Poerwokoesoemo,
sebagai berikut:
Pasal 1
Pangeran Mangkubumi diangkat
sebagai Sultan Hamengku Buwono Senopati Ingalaga Ngabdurrahman Sayidin
Panotogomo Kalifattullah di atas separo dari Kerajaan Mataram, yang
diberikan kepada beliau dengan hak turun temurun pada warisnya, dalam hal ini Pangeran
Adipati Anom Bendoro Raden Mas Sundoro.
Pasal 2
Akan senantiasa diusahakan
adanya kerjasama antara rakyat yang berada dibawah kekuasaan Kumpeni dengan
rakyat Kasultanan.
Pasal 3
Sebelum Pepatih Dalem (Rijks-Bestuurder)
dan para Bupati mulai melaksanakan tugasnya masing-masing, mereka harus
melakukan sumpah setia pada Kumpeni di tangan Gubernur.Intinya seorang patih
dari dua kerajaan harus dikonsultasikan dengan Belanda sebelum kemudian Belanda
menyetujuinya.
Pasal 4
Sri Sultan tidak akan
mengangkat/memberhentikan Pepatih Dalem dan Bupati, sebelum mendapatkan
persetujuan dari Kumpeni.Pokok pokok pemikirannya itu Sultan tidak memiliki
kuasa penuh terhadap berhenti atau berlanjutnya seorang patih karena segala
keputusan ada di tangan Dewan Hindia Belanda.
Pasal 5
Sri Sultan akan mengampuni
Bupati yang selama dalam peperangan memihak Kumpeni.
Pasal 6
Sri Sultan tidak akan menuntut
haknya atas pulau Madura dan daerah-daerah pesisiran, yang
telah diserahkan oleh Sri Sunan Paku Buwono II kepada Kumpeni dalam Contract-nya
pada tanggal 18 Mei 1746. Sebaliknya Kumpeni akan memberi ganti
rugi kepada Sri Sultan 10.000 real tiap tahunnya.
Pasal 7
Sri Sultan akan memberi bantuan
pada Sri Sunan Paku Buwono III
sewaktu-waktu diperlukan.
Pasal 8
Sri Sultan berjanji akan menjual
kepada Kumpeni bahan-bahan makanan dengan harga tertentu.
Pasal 9
Sultan berjanji akan mentaati
segala macam perjanjian yang pernah diadakan antara raja-raja Mataram terdahulu dengan Kumpeni, khususnya
perjanjian-perjanjian 1705, 1733,
1743,
1746,
1749.
Penutup
Perjanjian ini dari pihak VOC
ditanda tangani oleh N. Hartingh, W. van Ossenberch, J.J.
Steenmulder, C. Donkel, dan W. Fockens. "
Perlu ditambahkan Pepatih Dalem
(Rijks-Bestuurder/Chief of Administration Officer) dengan persetujuan residen/gubernur
adalah pemegang kekuasaan eksekutif sehari hari yang sebenarnya (bukan di
tangan Sultan).
[sunting] Badai belum berlalu
Perjanjian Giyanti belum
mengakhiri kerusuhan karena dalam perjanian ini kelompok Pangeran
Sambernyawa (Raden Mas Said) tidak turut serta.Mengapa dalam
perjanjian Giyanti ini Pangeran
Sambernyawa tidak turut serta? Para Pujangga Jawa dan Sejarahwan
rupanya enggan untuk menulis persoalan detail sekitar perjanjian ini atau
paling tidak generasi muda diberi suatu informasi yang benar sebagai landasan
membangun mentalitas bangsa pentingnya persatuan.
Dalam Perjanjian Giyanti ini Pangeran
Sambernyawa adalah rivalitas Pangeran Mangkubumi
untuk menjadi penguasa nomer satu di Mataram.Perjanjian Giyanti merupakan
persekongkolan untuk menghancurkan pemberontak.Berhubung pemberontak Mangkubumi
sudah bertobat dan kembali bersama VOC dan Paku Buwono III
bersekutu kembali untuk tujuan yang sama mematahkan dan menumpas pemberontakan.
Pemberontak yang dimaksud dalam
persekutuan dengan Perjanjian Giyanti adalah Pangeran
Sambernyawa.Sebagai pemimpin pemberontak Pangeran
Sambernyawa dinyatakan sebagai musuh bersama.Disini Perjanjian Giyanti terjadi
bukannya tanpa sebab.Sebab yang utama adalah "penyeberangan Pangeran Mangkubumi"
dari memberontak menjadi sekutu VOC dan Paku Buwono III.
Mengapa dan bagaimana Pangeran Mangkubumi
yang telah lari dari Keraton dan menggabungkan diri dengan pemberontak tiba
tiba kembali memerangi pemberontak? Dengan Perjanjian
Giyanti Pangeran Mangkubumi
sudah bukan lagi sebagai pejabat bawahan Paku Buwono III melainkan sebagai penguasa
yang demi alasan ketenteraman Kerajaan memainkan peran memerangi pemberontak.
Disini rupanya Sejarah ada yang
disembunyikan dan ditutup tutupi. Pangeran Mangkubumi
yang sebelum Perjanjian Giyanti memusuhi VOC secara tiba tiba berbalik bahu membahu
memerangi pemberontak. Apa latar belakang yang mendasari sehingga terjadi
persekutuan baru VOC, Paku Buwono III dan Pangeran Mangkubumi?
Persekutuan Paku Buwono III
dengan VOC sudah bukan barang baru lagi karena
keduanya bersekutu untuk menumpas pemberontakan. Pangeran Mangkubumi
merupakan persoalan tersendiri karena bersama Pangeran
Sambernyawa berada dalam posisi memberontak dan memusuhi VOC.
Pangeran Mangkubumi
dan Pangeran
Sambernyawa tidak kompak dalam menghadapi VOC.Kedua
nya berselisih dan puncak perselisihan itu mengemuka dengan menyeberangnya Pangeran Mangkubumi
ke pihak lawan ( VOC ).Penyeberangan itu dilakukan karena
kekuatan bersenjata Pangeran Mangkubumi
mengalami kekalahan yang sangat telak dan Pangeran Mangkubumi
tidak ingin kehilangan kekuasaannya atas kekuatan bersenjatanya akibat kalah
dengan Pangeran
Sambernyawa.VOC melihat bahwa Pangeran Mangkubumi
tidak bakalan menyeberang ke pihaknya kalau tidak mengalami kekalahan dalam
perselisihan itu.
Dengan bersama sama Kompeni atau
VOC
maka musuh Pangeran Mangkubumi
bukan lagi VOC/kompeni/Belanda melainkan musuhnya
adalah Pangeran
Sambernyawa sebagai musuh bersama ( VOC/Kompeni/Belanda,
Pakubuwono III, Pangeran Mangkubumi).
Sebelum secara bersama bahu
membahu bertindak melenyapkan Pangeran
Sambernyawadisini tampak dengan jelas bahwa "pembagian Mataram
menjadi Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta" adalah Kesepakatan VOC
dengan Pangeran Mangkubumi
yang digelar di Giyanti.
Perjanjian Salatiga
Perjanjian Salatiga adalah perjanjian bersejarah yang ditandatangani pada tanggal 17 Maret 1757
di Salatiga. Perjanjian ini adalah
penyelesaian dari serentetan pecahnya konflik perebutan kekuasaan yang
mengakhiri Kesultanan Mataram.
Dengan berat hati Hamengku Buwono I
dan Paku Buwono III
melepaskan beberapa wilayahnya untuk Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa). Ngawen di wilayah Yogyakarta dan sebagian Surakarta
menjadi kekuasaan Pangeran Sambernyawa.
Perjanjian ini ditandatangani
oleh Raden Mas Said, Sunan Paku Buwono III, VOC,
dan Sultan Hamengku Buwono I
di gedung VOC yang sekarang digunakan sebagai kantor Walikota Kota Salatiga.
|
Menuju Perjanjian
Di saat Pangeran Mangkubumi
menempuh jalan perundingan damai dengan imbalan mendapat separuh bagian
kekuasaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti
dan menjadi Sultan
Hamengkubuwana I, Pangeran
Sambernyawa (Raden Mas Said)
tetap melancarkan perlawanan.Dengan keberhasilan VOC
menarik Pangeran Mangkubumi
kedalam kubunya maka perlawanan Pangeran
Sambernyawa menjadi menghadapi Pangeran Mangkubumi,Sunan Paku Buwono
III dan VOC.Pangeran
Sambernyawa tidak mau menyerah kepada salah dari ketiganya atau
semuanya.Ketika VOC menyarankan untuk menyerah kepada salah
satu antara dari dua penguasa (Surakarta, Yogyakarta) Pangeran
Sambernyawa bahkan memberi tekanan kepada bertiga supaya Mataram
dibagi menjadi tiga kekuasaan.VOC ingin keluar dari
kesulitan untuk mengamankan kantong finansial dan menyelamatkan kehadirannya di
Jawa, sementara peperangan tidak menghasilkan pemenang yang unggul atas empat
kekuatan di Jawa.Gabungan tiga kekuatan ternyata belum mampu mengalahkan Pangeran
Sambernyawa sedang sebaliknya Pangeran
Sambernyawa juga belum mampu mengalahkan ketiganya bersama sama. Perjanjian
Salatiga pada 17 Maret 1757
di Salatiga adalah solusi dari keadaan untuk
mengakhiri peperangan di Jawa.Dengan berat hati Hamengku Buwono I dan Paku Buwono III melepaskan beberapa
wilayahnya untuk Pangeran
Sambernyawa.Ngawen di wilayah
Yogyakarta dan sebagian Surakarta menjadi kekuasaan Pangeran
Sambernyawa.
Pihak-pihak yang menandatangani
perjanjian ini adalah Pangeran Sambernyawa, Kasunanan Surakarta,
dan VOC, Kesultanan
Yogyakarta, diwakili oleh Patih Danureja, juga terlibat. Perjanjian
ini memberi Pangeran Sambernyawa separuh wilayah Surakarta (4000 karya,
mencakup daerah yang sekarang adalah Kabupaten Wonogiri
dan Kabupaten
Karanganyar, eksklave di wilayah
Yogyakarta i Ngawen dan menjadi penguasa Kadipaten
Mangkunegaran dengan gelar Mangkunegara I. Penguasa wilayah
Mangkunegaran tidak berhak menyandang gelar Sunan atau Sultan, dan hanya berhak
atas gelar Pangeran Adipati.
Lokasi penandatanganan
perjanjian ini sekarang digunakan sebagai kantor Walikota Kota Salatiga.
Sesudah Perjanjian Salatiga
Sunan Paku Buwono III wafat di
tahun 1788 dan penggantinya adalah Sunan Paku Buwono IV, yang cakap dalam
politik dan piawai dalam intrik dan intimidasi. Dua tahun setelah wafatnya Paku
Buwono III, awal tahun 1790 Sunan Paku Buwono IV melancarkan strategi politik
yang agresif dengan memulai memberi nama untuk saudaranya Arya mataram. Oleh
Sunan Paku Buwono IV
Arya Mataram dianugerahi nama Pangeran Mangkubumi.
Pemberian nama "Mangkubumi" menimbulkan protes Sultan Hamengku Buwono I yang merasa kebakaran
jenggot karena hak nama Mangkubumi adalah
miliknya sampai meninggal dunia.Sultan mengajukan protes kepada Kompeni yang
ternyata tidak membuahkan hasil karena Sunan tetap pada pendirian tidak bakalan
mencabut Nama Mangkubumi untuk
saudaranya.
Jurus politik pertama Paku Buwono IV di lanjutkan dengan jurus
keduanya yaitu menolak hak suksesi Putra Mahkota Kasultanan Yogyakarta.Suhu
politik yang sudah memanas itu bertambah lagi dengan tuntutan Mangkunegara I
yang melihat suatu peluang ada didepannya. Mangkunegara I menulis surat kepada
Gubernur di Semarang Yan
Greeve pada bulan Mei 1790 yang isinya Mangkunegara I Menagih janji Residen
Surakarta Frederick Christoffeel van Straaldorf yang menjanjikan bahwa Jika Pangeran Mangkubumi
yang menjadi Sultan Hamengku Buwono I
wafat maka Mangkunegara I
berhak menduduki tahta Kasultanan Yogyakarta.
VOC
yang tidak ingin terseret kembali dalam pertikaian bersenjata menjadi panik dan
mulai memeriksa situasi lapangan militernya dan ke tiga Kerajaan.Kompeni yang
di wakili Yan Greeve menemui dengan perasaan kecewa ketika dilapangan menemukan
fakta bahwa Mangkunegoro I
memiliki 1.400 orang pasukan bersenjata yang siaga.Dalam waktu yang yang
singkat kekuatan 1.400 orang bersenjata dapat dilipatkan dengan memanggil
pengikutnya menjadi 4.000 orang pasukan bersenjata.
Tuntutan Mangkunegoro I juga diikuti dengan tuntutan
berikutnya yaitu dikembalikannya GKR
Bendoro isterinya kepada Mangkunegara I.Jika tuntutan ini tidak
dipenuhi sebagai gantinya Mangkunegara I
menuntut 4.000 cacah dari Yogyakarta. Mangkunegara I mulai memobilisasi
pasukannya dan pertempuran pertempuran kecil mulai terjadi. Wilayah Gunung
Kidul menjadi medan pertempuran.dalam mobilisasi dan pertempuran ini G.R.M.
Sulomo (calon Mangkunegara II
sudah terlibat dan aktif dalam pertempuran.
7 Oktober 1790 Yan
greeve mengintimidasi Sultan Hamengku Buwono I untuk memberikan 4.000
cacah tetapi Sultan menolak. Awal November 1790 tuntutan 4.000 cacah diganti
dengan upeti Belanda kepada Mangkunegaran
sebesar 4.000 real.
Mangkunegaran Penyambung Roh Mataram
Perjanjian Salatiga secara
hakikat menandai berdirinya praja atau negeri Mangkunegaran dengan Raden Mas
Said sebagai Pangeran otonom yang menguasai sebuah wilayah yang otonom pula.
Mangkunegaran yang didirikan oleh Pangeran Sambernyawa adalah penyambung dari
Mataram yang telah hilang akibat perjanjian Giyanti 1755. Mataram yang telah
bubar dengan traktat Giyanti di bangun kembali melalui Negeri Mangkunegaran.
Politik dan kebudayaan Mataram serta unsur unsur keprajuritan dipertahankan dan
dihidupkan dari generasi ke generasi.
Abad baru Tahun 1800 an
Sunan Paku Buwono III wafat tahun 1788, Sultan Hamengku Buwono I wafat tahun 1792 dan Pangeran
Mangkunegara I wafat tahun 1795. Paku Buwono III di ganti Paku Buwono IV, Sultan Hamengku Buwono I diganti Sultan Hamengu
Buwono II dan Mangkunegara Idi
ganti Mangkunegara II.
Pembubaran VOC di tahun 1800 awal bulan menandai
perubahan baru di bekas Mataram.Kewenangan VOC
diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Pada masa generasi ini Sunan Paku Buwono IV menjadi aktor Politik yang
sangat piawai sekaligus berbahaya bagi Belanda.Jurus jurus politik yang
ditampilkan begitu terampilnya dan tidak gentar dengan gertak peperangan.
Kedatangan Daendels dan Raffles dimanfaatkan sedemikian rupa
sehingga segala perjudian politik di tahun 1800 an ini seakan akan merupakan
pematangan situasi untuk munculnya perang Diponegoro.
Paku Buwono IV berhasil memprovokasi Sultan
Hamengku Buwono II
sehingga berkonfrontasi dengan Daendels dan Raffles di kemudian hari.Di samping itu
faktor Secadiningrat
seorang Kapiten
Cina di Yogyakarta yang menjadi penasehat putera mahkota (Calon Hamengku Buwono III)
juga turut andil dalam merunyamkan pemerintahan Hamengku Buwono II.
Secadiningrat
membocorkan rencana rencana Sultan kepada pihak asing terutama Inggris bahwa
Kasultanan mempersenjatai diri untuk kekuatan perang.
Yogyakarta di datangi Daendels dengan beribu pasukan.Sultan Hamengku Buwono II
diturunkan tahta dan di ganti Sultan
Raja (Hamengku Buwono III).
Kasultan Yogyakarta sepeninggal Hamengku Buwono Imengalami kesuraman yang
tiada tara.Dari Hamengku Buwono II
sampai Hamengku Buwono VI
Kasultanan mengalami instabilitas serius.
Generasi Ke 2 Pasca Pembagian Mataram
Generasi ke dua para petinggi
kerajaan paska pembagian Mataram memperlihatkan
kepada khalayak tentang persiapan generasi pertama dalam mewariskan
pemerintahan dan penyiapkan para penggantinya.Pada generasi ke dua ini
Kasultanan Yogyakarta yang bertahta adalah Sultan Hamengku Buwono II, Mangkunegaran yang bertahta adalah Pangeran Mangkunegara II dan Kasunanan Surakarta
yang bertahta adalah Paku Buwono IV.
Hamengku Buwono II
merupakan putera Hamengku Buwono I
setelah saudaranya RM.Entho
yang menjadi Putera Mahkota meninggal dunia.Paku Buwono IV adalah putera Paku Buwono III sedang Mangkunegara II adalah cucu Mangkunegara I. Pada pemerintahan generasi
ke dua ini Yogyakarta dibawah Hamengku Buwono II
mengalami kemerosotan yang serius. Sultan ke dua Yogyakarta ini mengalami naik
turun tahta selama pergantian kekuasaan kolonial di Nusantara ini.
Kesultanan Banten.[4]
Kesultanan
Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten, Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa kawasan pelabuhan
kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta kawasan perdagangan.
Maulana Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati[2] berperan dalam penaklukan tersebut, dan
mendirikan benteng pertahanan yang dinamakan Surosowan kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah
Banten menjadi kerajaan sendiri.
Selama hampir
3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang luar
biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya.
Kekuatan politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya Istana Surosowan sebagai
simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada masa-masa akhir
pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja bawahan dari
pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal
Pada awalnya
kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin ke kawasan tersebut selain untuk perluasan
wilayah juga sekaligus penyebaran dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang ekonomi dan politik, hal ini
dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan Demak selepas kekalahan mereka
mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan pelabuhan utama
dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai
membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam penyebaran Islam di kawasan
tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak dagang dengan raja Malangkabu
(Minangkabau, Kerajaan Inderapura)
dan dianugerahi keris oleh raja tersebut (Sultan Munawar Syah).
Seiring dengan
kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang sebelumnya vazal dari Kerajaan
Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta pada tahun 1570 melanjutkan
ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun
1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha Banten dalam
mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia meninggal dalam
penaklukkan tersebut.
Pada masa Pangeran Ratu anak
dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada
masa ini Sultan Banten telah mulai secara intensif melakukan hubungan diplomasi
dengan kekuatan lain yang ada pada waktu itu, salah satu diketahui surat Sultan
Banten kepada Raja Inggris, James I tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
Puncak kejayaan
Kesultanan
Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan penguasa Banten sekaligus
sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten berkembang pesat,
menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu. Perdagangan laut
berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan multi-etnis. Dibantu
orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa
kejayaan Banten. Di bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan,
dibangun atas contoh Eropa, serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja
pada Kesultanan Banten. Dalam mengamankan jalur pelayarannya Banten juga
mengirimkan armada lautnya ke Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat
sekarang) dan menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal dagang menuju Banten.
Perang saudara
Sekitar tahun
1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan
dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan dukungan kepada Sultan
Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan. Sementara dalam memperkuat
posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya,
menemui Raja Inggris di London tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan
persenjataan. Dalam perang ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan
pindah ke kawasan yang disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai oleh Sultan Haji
bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda. Namun
pada 14
Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di
Batavia.
Sementara VOC
terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya, bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan
Johannes Maurits van Happel menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di
mana pada 14 Desember 1683 mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya Pangeran
Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh oleh
Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan
Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan dan
dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada
Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu
kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian akibat
perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl Muhammad
Yahya diangkat mengantikan
Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar tiga tahun, selanjutnya digantikan
oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abul Mahasin
Muhammad Zainul Abidin dan
kemudian dikenal juga dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang saudara
yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan masa
berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul Fathi
Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang dan Kyai Tapa. Akibat konflik
yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta bantuan VOC dalam meredam
beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752 Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan kesultanan
Pada tahun 1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan
Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun
pelabuhan yang direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels, sebagai
jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan penghancuran
Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan (Istana
Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq
Zainulmutaqin kemudian
diasingkan dan dibuang ke Batavia. Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari
markasnya di Serang bahwa wilayah Kesultanan Banten telah diserap ke
dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhammad bin Muhammad
Muhyiddin Zainussalihin
dilucuti dan dipaksa turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan pamungkas yang
mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama
Berdasarkan data
arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan yang
membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan Kerajaan Sunda.
Dalam Babad
Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin, melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang beserta
penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi di
Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai
dengan penaklukan Pakuan Pajajaran.
Islam menjadi
pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki silsilah
sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan
masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya
masyarakat menyerap Islam sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa
tradisi yang ada dipengaruhi oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti
terlihat pada kesenian bela diri Debus.
Kadi memainkan peranan penting dalam pemerintahan
Kesultanan Banten, selain bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat
di pengadilan agama, juga dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.
Toleransi umat
beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim, namun komunitas tertentu diperkenankan membangun
sarana peribadatan mereka, di mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar pelabuhan Banten.
Kependudukan
Kemajuan
Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari beberapa
sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan terdapat
antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang, sumber
lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang yang
siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan, pada Dagh
Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada tahun 1673, diperkirakan
penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan
penduduk dihitung, apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah
sekitar 150 000 penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar tahun
1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten. Gelombang migrasi ini
akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan Cina Selatan lainnya.
Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar pinggiran pantai dan sungai
serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok masyarakat
Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga telah membangun pemondokan dan gudang di
sekitar Ci Banten.
Perekonomian
Dalam
meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk daerah pesisir, pada kawasan pedalaman
pembukaan sawah mulai diperkenalkan. Asumsi ini berkembang karena
pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh
kegiatan perladangan, sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang menceritakan adanya istilah pahuma
(peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap (penyadap). Ketiga istilah
ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga dengan nama peralatanya
seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa
Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara 30 dan 40 000 ribu hektar sawah
baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk
orang Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina di tahun 1620-an, dikembangkan. Di bawah
Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten meningkat signifikan.
Tak dapat
dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan
jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
Pemerintahan
Setelah Banten muncul sebagai kerajaan yang
mandiri, penguasanya menggunakan gelar Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang
oleh para pewaris. Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi, Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan. Sementara pada
masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang mendapat
kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta kaum jawara.
Pusat
pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit,
sementara disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten
dengan menara berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai
menara pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara
Masjid Agung Banten dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan.
Sementara pada kawasan alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh
Sultan Banten sebagai tempat untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya.
Secara keseluruhan rancangan kota Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi
oleh konsep Hindu-Budha atau representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan (Persia) dan
Kampung Pecinan.
Kesultanan
Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan
yang dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa
Sultan Ageng bernama Syahbandar Kaytsu.
Daftar penguasa Banten
- Maulana Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
- Maulana Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
- Sultan Abu al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
- Sultan Ageng Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
- Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
- Sultan Abu Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
- Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
- Sultan Abul Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
- Ratu Syarifah Fatimah 1747 - 1750
- Sultan Arif Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
- Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
- Sultan Abul Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
- Sultan Abul Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
- Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 - 1813
Warisan sejarah
Setelah
dihapuskannya Kesultanan Banten, wilayah Banten menjadi bagian dari kawasan
kolonialisasi. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, tahun 1817 Banten dijadikan keresidenan,
dan sejak tahun 1926 wilayah tersebut menjadi bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kejayaan masa lalu Kesultanan Banten
menginspirasikan masyarakatnya untuk menjadikan kawasan Banten kembali menjadi
satu kawasan otonomi, reformasi pemerintahan Indonesia berperan mendorong kawasan Banten sebagai provinsi tersendiri yang kemudian ditetapkan melalui
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2000.
Selain itu
masyarakat Banten telah menjadi satu kumpulan etnik tersendiri yang diwarnai
oleh perpaduan antar-etnis yang pernah ada pada masa kejayaan Kesultanan
Banten, dan keberagaman ini pernah menjadikan masyarakat Banten sebagai salah
satu kekuatan yang dominan di Nusantara.
Kesultanan Cirebon.[5]
Kesultanan Cirebon adalah
sebuah kesultanan Islam ternama di Jawa Barat pada abad ke-15 dan 16
Masehi, dan merupakan pangkalan penting dalam jalur perdagangan dan pelayaran
antar pulau. Lokasinya di pantai utara pulau Jawa yang merupakan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Barat, membuatnya menjadi pelabuhan dan
"jembatan" antara kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga tercipta suatu kebudayaan yang khas,
yaitu kebudayaan Cirebon yang tidak didominasi kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda.
|
Sejarah
Menurut Sulendraningrat
yang mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil yang
dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, yang lama-kelamaan berkembang menjadi sebuah desa
yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda: campuran), karena di sana bercampur para
pendatang dari berbagai macam suku bangsa, agama, bahasa, adat istiadat, dan
mata pencaharian yang berbeda-beda untuk bertempat tinggal atau berdagang.
Mengingat pada
awalnya sebagian besar mata pencaharian masyarakat adalah sebagai nelayan, maka
berkembanglah pekerjaan menangkap ikan dan rebon (udang kecil) di sepanjang pantai
serta pembuatan terasi, petis, dan garam. Dari istilah air bekas pembuatan
terasi (belendrang) dari udang rebon inilah berkembanglah sebutan cai-rebon
(Bahasa Sunda:, air rebon) yang kemudian menjadi Cirebon.
Dengan
dukungan pelabuhan yang ramai dan sumber daya alam dari pedalaman, Cirebon
kemudian menjadi sebuah kota besar dan menjadi salah satu pelabuhan penting di
pesisir utara Jawa baik dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan di kepulauan Nusantara maupun dengan bagian dunia lainnya. Selain itu,
Cirebon tumbuh menjadi cikal bakal pusat penyebaran agama Islam di Jawa Barat.
Perkembangan awal
Ki Gedeng Tapa
Ki Gedeng Tapa
(atau juga dikenal dengan nama Ki Gedeng Jumajan Jati) adalah seorang saudagar
kaya di pelabuhan Muarajati, Cirebon. Ia mulai membuka hutan ilalang dan
membangun sebuah gubug dan sebuah tajug (Jalagrahan) pada tanggal 1 Syura 1358
(tahun Jawa) bertepatan dengan tahun 1445 Masehi. Sejak saat itu, mulailah para
pendatang mulai menetap dan membentuk masyarakat baru di desa Caruban.
Ki Gedeng Alang-Alang
Kuwu atau
kepala desa Caruban yang pertama yang diangkat oleh masyarakat baru itu adalah
Ki Gedeng Alang-alang. Sebagai Pangraksabumi atau wakilnya, diangkatlah Raden Walangsungsang,
yaitu putra Prabu Siliwangi dan Nyi Mas Subanglarang atau Subangkranjang, yang
tak lain adalah puteri dari Ki Gedeng Tapa. Setelah Ki Gedeng Alang-alang
wafat, Walangsungsang yang juga bergelar Ki Cakrabumi diangkat menjadi
penggantinya sebagai kuwu yang kedua, dengan gelar Pangeran Cakrabuana.
Masa Kesultanan Cirebon (Pakungwati)
Pangeran Cakrabuana (…. –1479)
Pangeran
Cakrabuana adalah keturunan Pajajaran. Putera pertama Sri Baduga Maharaja Prabu
Siliwangi dari istrinya yang kedua bernama SubangLarang (puteri Ki Gedeng
Tapa). Nama kecilnya adalah Raden Walangsungsang, setelah remaja dikenal dengan
nama Kian Santang. Ia mempunyai dua orang saudara seibu, yaitu Nyai Lara
Santang/ Syarifah Mudaim dan Raden Sangara.
Sebagai anak
sulung dan laki-laki ia tidak mendapatkan haknya sebagai putera mahkota Pakuan
Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh karena ia memeluk agama Islam (diturunkan
oleh Subanglarang - ibunya), sementara saat itu (abad 16) ajaran agama
mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan (agama leluhur orang Sunda) Hindu
dan Budha. Posisinya digantikan oleh adiknya, Prabu Surawisesa, anak laki-laki
Prabu Siliwangi dari istrinya yang ketiga Nyai Cantring Manikmayang.
Ketika
kakeknya Ki Gedeng Tapa yang penguasa pesisir utara Jawa meninggal,
Walangsungsang tidak meneruskan kedudukan kakeknya, melainkan lalu mendirikan
istana Pakungwati dan membentuk pemerintahan di Cirebon. Dengan demikian, yang
dianggap sebagai pendiri pertama Kesultanan Cirebon adalah Walangsungsang atau
Pangeran Cakrabuana. Pangeran Cakrabuana, yang usai menunaikan ibadah haji
kemudian disebut Haji Abdullah Iman, tampil sebagai "raja" Cirebon
pertama yang memerintah dari keraton Pakungwati dan aktif menyebarkan agama
Islam kepada penduduk Cirebon.
Sunan Gunung Jati (1479-1568)
Pada tahun
1479 M, kedudukannya kemudian digantikan putra adiknya, Nyai Rarasantang dari
hasil perkawinannya dengan Syarif Abdullah dari Mesir, yakni Syarif Hidayatullah (1448-1568) yang setelah
wafat dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati dengan gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin
Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah dan bergelar pula sebagai Ingkang
Sinuhun Kangjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid
Jaman Khalifatur Rasulullah.
Pertumbuhan
dan perkembangan yang pesat pada Kesultanan Cirebon dimulailah oleh Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati kemudian diyakini
sebagai pendiri dinasti raja-raja Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Banten
serta penyebar agama Islam di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten. Setelah Sunan Gunung Jati wafat, terjadilah
kekosongan jabatan pimpinan tertinggi kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya
calon kuat pengganti Sunan Gunung Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, Putra
Pangeran Pasarean, cucu Sunan Gunung Jati. Namun, Pangeran Dipati Carbon
meninggal lebih dahulu pada tahun 1565.
Fatahillah (1568-1570)
Kekosongan
pemegang kekuasaan itu kemudian diisi dengan mengukuhkan pejabat keraton yang
selama Sunan Gunung Jati melaksanakan tugas dakwah, pemerintahan dijabat oleh Fatahillah atau Fadillah Khan. Fatahillah kemudian naik
takhta, dan memerintah Cirebon secara resmi menjadi raja sejak tahun 1568.
Fatahillah menduduki takhta kerajaan Cirebon hanya berlangsung dua tahun karena
ia meninggal dunia pada tahun 1570, dua tahun setelah Sunan Gunung Jati wafat
dan dimakamkan berdampingan dengan makam Sunan Gunung Jati di Gedung Jinem
Astana Gunung Sembung.[1]
Panembahan Ratu I (1570-1649)
Sepeninggal
Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi raja, takhta
kerajaan jatuh kepada cucu Sunan Gunung Jati yaitu Pangeran Emas putra tertua
Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas kemudian
bergelar Panembahan Ratu I dan memerintah Cirebon selama kurang lebih 79 tahun.
Panembahan Ratu II (1649-1677)
Setelah
Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, pemerintahan Kesultanan
Cirebon dilanjutkan oleh cucunya yang bernama Pangeran Rasmi atau Pangeran
Karim, karena ayah Pangeran Rasmi yaitu Pangeran Seda ing Gayam atau Panembahan
Adiningkusumah meninggal lebih dahulu. Pangeran Rasmi kemudian menggunakan nama
gelar ayahnya almarhum yakni Panembahan Adiningkusuma yang kemudian dikenal
pula dengan sebutan Panembahan Girilaya atau Panembahan Ratu II.
Panembahan
Girilaya pada masa pemerintahannya terjepit di antara dua kekuatan kekuasaan,
yaitu Kesultanan Banten dan Kesultanan Mataram. Banten merasa curiga sebab Cirebon dianggap lebih
mendekat ke Mataram (Amangkurat I adalah mertua Panembahan Girilaya). Mataram
dilain pihak merasa curiga bahwa Cirebon tidak sungguh-sungguh mendekatkan
diri, karena Panembahan Girilaya dan Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten adalah sama-sama keturunan Pajajaran.
Kondisi ini memuncak dengan meninggalnya Panembahan Girilaya di Kartasura dan
ditahannya Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya di Mataram.
Panembahan
Girilaya adalah menantu Sultan Agung Hanyakrakusuma dari Kesultanan Mataram.
Makamnya di Jogjakarta, di bukit Girilaya, dekat dengan makam raja raja
Mataram di Imogiri, Kabupaten Bantul. Menurut beberapa sumber di Imogiri maupun
Girilaya, tinggi makam Panembahan Girilaya adalah sejajar dengan makam Sultan
Agung di Imogiri.
Terpecahnya Kesultanan Cirebon
Dengan
kematian Panembahan Girilaya, maka terjadi kekosongan penguasa. Sultan Ageng
Tirtayasa segera menobatkan Pangeran Wangsakerta sebagai pengganti Panembahan
Girilaya, atas tanggung jawab pihak Banten. Sultan Ageng Tirtayasa kemudian
mengirimkan pasukan dan kapal perang untuk membantu Trunojoyo, yang saat itu sedang memerangi Amangkurat I dari
Mataram. Dengan bantuan Trunojoyo, maka kedua putra Panembahan Girilaya yang
ditahan akhirnya dapat dibebaskan dan dibawa kembali ke Cirebon untuk kemudian
juga dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan Cirebon.
[sunting] Perpecahan I (1677)
Pembagian
pertama terhadap Kesultanan Cirebon, dengan demikian terjadi pada masa
penobatan tiga orang putra Panembahan Girilaya, yaitu Sultan Sepuh, Sultan
Anom, dan Panembahan Cirebon pada tahun 1677. Ini merupakan babak baru bagi
keraton Cirebon, dimana kesultanan terpecah menjadi tiga dan masing-masing
berkuasa dan menurunkan para sultan berikutnya. Dengan demikian, para penguasa
Kesultanan Cirebon berikutnya adalah:
- Sultan Keraton Kasepuhan, Pangeran Martawijaya, dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin (1677-1703)
- Sultan Kanoman, Pangeran Kartawijaya, dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723)
- Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati (1677-1713).
Perubahan
gelar dari Panembahan menjadi Sultan bagi dua putra tertua Pangeran Girilaya
ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa, karena keduanya dilantik menjadi Sultan Cirebon di ibukota Banten. Sebagai sultan, mereka
mempunyai wilayah kekuasaan penuh, rakyat, dan keraton masing-masing. Pangeran
Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan melainkan hanya Panembahan. Ia tidak
memiliki wilayah kekuasaan atau keraton sendiri, akan tetapi berdiri sebagai kaprabonan
(paguron), yaitu tempat belajar para intelektual keraton. Dalam tradisi
kesultanan di Cirebon, suksesi kekuasaan sejak tahun 1677 berlangsung sesuai
dengan tradisi keraton, di mana seorang sultan akan menurunkan takhtanya
kepada anak laki-laki tertua dari permaisurinya. Jika tidak ada, akan dicari
cucu atau cicitnya. Jika terpaksa, maka orang lain yang dapat memangku jabatan
itu sebagai pejabat sementara.
Perpecahan II (1807)
Suksesi para
sultan selanjutnya pada umumnya berjalan lancar, sampai pada masa pemerintahan
Sultan Anom IV (1798-1803), dimana terjadi perpecahan karena salah seorang
putranya, yaitu Pangeran Raja Kanoman, ingin memisahkan diri membangun
kesultanan sendiri dengan nama Kesultanan Kacirebonan.
Kehendak
Pangeran Raja Kanoman didukung oleh pemerintah Kolonial Belanda dengan
keluarnya besluit (Bahasa Belanda: surat keputusan) Gubernur-Jendral Hindia Belanda yang mengangkat Pangeran Raja Kanoman menjadi
Sultan Carbon Kacirebonan tahun 1807 dengan pembatasan bahwa putra dan para
penggantinya tidak berhak atas gelar sultan, cukup dengan gelar pangeran. Sejak
itu di Kesultanan Cirebon bertambah satu penguasa lagi, yaitu Kesultanan
Kacirebonan, pecahan dari Kesultanan Kanoman. Sementara tahta Sultan Kanoman V
jatuh pada putra Sultan Anom IV yang lain bernama Sultan Anom Abusoleh
Imamuddin (1803-1811).
Masa kolonial dan kemerdekaan
Sesudah
kejadian tersebut, pemerintah Kolonial Belanda pun semakin dalam ikut campur
dalam mengatur Cirebon, sehingga semakin surutlah peranan dari keraton-keraton
Kesultanan Cirebon di wilayah-wilayah kekuasaannya. Puncaknya terjadi pada
tahun-tahun 1906 dan 1926, dimana kekuasaan pemerintahan Kesultanan Cirebon
secara resmi dihapuskan dengan disahkannya Gemeente Cheirebon (Kota Cirebon),
yang mencakup luas 1.100 Hektar, dengan penduduk sekitar 20.000 jiwa (Stlb.
1906 No. 122 dan Stlb. 1926 No. 370). Tahun 1942, Kota Cirebon kembali
diperluas menjadi 2.450 hektar.
Pada masa
kemerdekaan, wilayah Kesultanan Cirebon menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum, wilayah Kesultanan Cirebon tercakup dalam Kota Cirebon dan Kabupaten
Cirebon, yang secara administratif masing-masing dipimpin oleh pejabat
pemerintah Indonesia yaitu walikota dan bupati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar